banner 728x400

Anak Muda, Nasionalisme, dan Warisan Stigma

IMG 20250626 WA0040
IMG 20250626 WA0040

Oleh: Sartana Peneliti Psikologi Kebangsaan dan Pengajar di Departemen Psikologi Fakultas Kedokteran Universitas Andalas

suaragerakan.com, Sudah terlalu sering kita dengar tudingan bahwa anak muda Indonesia luntur rasa nasionalismenya, atau bahkan tidak nasionalis. Narasi semacam ini telah berulang sejak saya duduk di bangku sekolah dasar dan terus berlangsung hingga kini. Ia hadir dalam pidato, tulisan media, bahkan juga ada di pengantar jurnal-jurnal ilmiah.

Ironisnya, generasi yang hari ini melabeli anak muda sebagai tidak nasionalis, dulunya juga pernah mendapat tuduhan serupa dari generasi sebelumnya. Polanya berulang. Sangat mungkin, anak muda hari ini suatu saat akan mengulang tuduhan yang sama kepada generasi sesudahnya.

Menurut pengamatan saya, label “anak muda tidak nasionalis” bukanlah produk dari fakta objektif, melainkan lahir dari relasi kuasa antargenerasi yang timpang. Generasi tua merasa lebih berhak menentukan standar nasionalisme, meski parameternya tidak pernah dijelaskan secara jernih dan terbuka.

Sementara itu, nasionalisme sejatinya adalah gagasan yang selalu dinegosiasikan. Namun, dalam proses tersebut, sebagian pihak merasa paling berhak memutuskan mana yang benar. Mereka memiliki lebih banyak sumber daya, seperti ekonomi, sosial, maupun simbolik, yang memperkuat klaimnya. Di hadapan generasi yang lebih tua, anak muda berada dalam posisi lemah dan nyaris tak punya ruang menyanggah.

Budaya feodal yang masih bekerja secara kultural memperparah situasi tersebut. Anak muda diposisikan sebagai pihak yang salah hanya karena lebih muda. Mereka dituntut mendengar, tunduk, dan menerima narasi tentang nasionalisme yang dianggap benar generasi sebelumnya.

Padahal, label negatif semacam itu bukan hanya tidak adil, tapi juga berisiko menimbulkan luka psikologis dan sosial. Anak-anak muda harus memikul tuduhan sebagai warga bangsa yang “buruk” tanpa tahu ukuran “baik” yang dimaksud. Tuduhan itu bisa merusak rasa kebangsaan yang tengah tumbuh dan mencari bentuk.

Lebih menyakitkan lagi, jika kita cermati, banyak persoalan nasional justru dilahirkan oleh generasi tua. Kerusakan lingkungan, ketimpangan pembangunan, korupsi, dan ketergantungan ekonomi pada asing bukan disebabkan oleh generasi muda. Siapa yang memutuskan impor beras dan bahan bakar? Siapa yang membuka investasi asing tanpa regulasi kuat? Semua keputusan itu dibuat oleh generasi yang kini paling vokal menuding anak muda tidak nasionalis.

Sebaliknya, banyak anak muda justru menunjukkan nasionalismenya melalui cara-cara baru, seperti berprestasi di ajang internasional, memajukan UMKM digital, menciptakan inovasi teknologi, serta membangun gerakan sosial berbasis komunitas. Sayangnya, ekspresi ini kerap diabaikan karena tidak sesuai dengan imajinasi nasionalisme yang dianggap “standar”.

Yang penting untuk digarisbawahi, di era global, sulit bagi kita untuk tidak beradaptasi dengannya. Dalam catatan sejarah, nasionalisme bisa hidup berdampingan dengan budaya global. Ketika orang mengidolakan artis Korea, memakai celana jeans Amerika, atau menyukai klub sepak bola Eropa, menyukai tarian India, tidak serta merta mereka kehilangan cinta pada Indonesia. Sama halnya ketika orang-orang tua mengenakan jas Barat atau gamis Timur Tengah tidak serta merta menghapus identitas kebangsaan.

Itu mungkin terjadi karena setiap orang punya banyak identitas yang bisa hidup bersama. Seorang anak muda bisa menjadi penggemar BTS dan sekaligus bangga menjadi orang Indonesia. Dalam penelitian saya, seorang peserta bahkan mengaku merasa sangat Indonesia ketika bermain game online dan bertanding melawan pemain negara lain. Dalam ruang virtual itu, ia merasa sebagai wakil bangsa. Kemenangan dalam pertandingan itu diartikan sebagai kemenangan Indonesia. Memang, keterikatan pada produk global dapat memengaruhi cara kita pandangan kita sebagai warga bangsa. Termasuk berpotensi untuk melemahkan ikatan dan rasa cinta kita terhadap bangsa. Namun, berbagai nilai dan produk budaya global tersebut juga dapat memperkaya budaya nasional. Selain itu, melalui budaya global, anak muda dapat memaknai ulang kebangsaannya secara lebih kreatif dan reflektif.

Bukankah orang-orang yang sudah tua juga banyak mengadopsi dan menggunakan berbagai produk budaya luar dalam kehidupan seahari-hari? Sepeda motor, mobil, kulkas, televisi, dan masih banyak lagi produk global yang dikonsumsi oleh generasi tua. Lalu, apakah itu juga menjadi tanda bahwa generasi tua tidak nasionalis? Bisa jadi ya, kalau mereka kemudian terlena dan bergeser perasaan cintanya terhadap bangsa karena produk tersebut.

Mempertimbangkan hal demikian, sudah saatnya kita menghindari kecenderungan untuk menilai nasionalisme anak muda dengan ukuran masa lalu. Alih-alih terburu melabeli, barangkali kita perlu belajar memahami cara mereka mencintai bangsa. Ekspresi nasionalisme mereka yang tak serupa dengan generasi sebelumnya merupakan tanda bahwa mereka tengah beradaptasi dengan perubahan, dan menemukan cara baru untuk terus merawat Indonesia di tengah dunia yang terus bergerak.

Penulis: Sartana, M.AEditor: Syahrul Mubarak
----