Oleh: Syahrul Mubarak, S.Pd, M.Hum, Tuanku Bandaro Auliya
Indonesia merancang visi ambisius bernama Indonesia Emas 2045, sebuah cita-cita menjadi negara maju bertepatan dengan 100 tahun kemerdekaan. Visi ini mencakup pertumbuhan ekonomi berkelanjutan, pemerataan pembangunan, serta peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM). Namun di balik narasi optimis ini, muncul suara-suara kritis yang menyuarakan kecemasan: apakah kita benar-benar siap menghadapi 2045?
Istilah Indonesia Cemas 2045 mengemuka sebagai antitesis dari optimisme yang berlebihan. Ia mencerminkan kekhawatiran atas arah pembangunan saat ini yang belum sejalan dengan impian besar 2045. Kecemasan ini bukan tanpa dasar, terutama jika kita menilik sejumlah tantangan struktural yang belum terselesaikan hingga kini.
1. Bonus Demografi: Ancaman Bila Tak Dikelola
Indonesia tengah menikmati bonus demografi, dengan sekitar 70% penduduk berada pada usia produktif. Ini adalah peluang langka yang hanya datang sekali dalam sejarah sebuah bangsa. Namun, potensi ini bisa berubah menjadi bencana jika tidak diikuti dengan kebijakan pembangunan manusia yang tepat.
Realitas saat ini menunjukkan tingginya angka pengangguran usia muda, ketimpangan keterampilan dengan kebutuhan industri, serta rendahnya produktivitas tenaga kerja. Tanpa penanganan cepat, bonus demografi ini justru akan melahirkan generasi frustrasi yang menjadi beban sosial dan sumber ketidakstabilan.
2. Krisis Pendidikan yang Menyeluruh
Laporan PISA (Programme for International Student Assessment) tahun-tahun terakhir menempatkan Indonesia di posisi bawah dalam hal literasi, matematika, dan sains. Ini merupakan indikator krusial yang menunjukkan bahwa pendidikan kita belum mampu menghasilkan SDM unggul dan adaptif terhadap perubahan zaman.
Kurikulum yang terlalu padat, minimnya pelatihan guru, kesenjangan kualitas pendidikan antara pusat dan daerah, hingga rendahnya pemanfaatan teknologi dalam proses belajar mengajar menjadi masalah mendasar. Di tengah revolusi industri 4.0 dan menuju era kecerdasan buatan, pendidikan kita masih berkutat pada persoalan abad ke-20.
3. Ekonomi yang Rentan dan Ketergantungan pada Komoditas
Struktur ekonomi Indonesia masih sangat bergantung pada ekspor bahan mentah dan konsumsi domestik. Sektor industri manufaktur stagnan, inovasi teknologi belum menjadi tulang punggung pertumbuhan, dan investasi dalam riset dan pengembangan masih sangat minim hanya sekitar 0,2% dari PDB (jauh di bawah negara-negara maju yang mencapai 2–3%).
Jika tidak ada perubahan arah kebijakan, Indonesia akan menjadi penonton dalam ekonomi global berbasis pengetahuan. Kita akan menjadi pasar besar tanpa daya tawar, alih-alih menjadi pusat produksi dan inovasi.
4. Krisis Iklim dan Kerusakan Lingkungan
Tantangan perubahan iklim semakin nyata: naiknya permukaan laut mengancam kota-kota pesisir seperti Jakarta, frekuensi bencana meningkat, dan deforestasi masih terjadi dalam skala mengkhawatirkan. Ketahanan pangan, energi, dan air akan menjadi isu genting di masa depan jika kelestarian alam terus dikorbankan demi pertumbuhan ekonomi jangka pendek.
Sayangnya, isu lingkungan masih belum menjadi prioritas utama dalam perencanaan pembangunan nasional. Tanpa transisi menuju ekonomi hijau dan energi terbarukan, krisis lingkungan dapat menjadi palu godam yang menghancurkan semua capaian pembangunan.
Dari Cemas ke Tindakan: Apa yang Harus Dilakukan?
Cemas bukan berarti menyerah. Justru dari kecemasan ini, kita bisa membangun kewaspadaan kolektif untuk memperbaiki arah kebijakan dan pembangunan nasional. Beberapa langkah krusial yang harus dilakukan segera:
- Revolusi pendidikan: Mengubah sistem pendidikan agar berorientasi pada pengembangan karakter, kreativitas, dan kompetensi abad ke-21. Guru perlu dilatih, kurikulum disesuaikan, dan kesenjangan pendidikan harus dihapus.
- Transformasi ekonomi: Berpindah dari ekonomi berbasis sumber daya alam ke ekonomi berbasis inovasi, riset, dan teknologi. Startup lokal, UMKM berbasis digital, dan sektor ekonomi hijau perlu diberi ruang tumbuh.
- Kebijakan berkelanjutan: Lingkungan hidup harus dilihat sebagai aset, bukan hambatan pembangunan. Transisi energi, konservasi hutan, dan urbanisasi hijau harus menjadi arus utama.
- Kepemimpinan yang visioner dan inklusif: Masa depan Indonesia tidak bisa dibangun dengan politik transaksional dan populisme jangka pendek. Kita membutuhkan pemimpin yang mampu melihat jauh ke depan, berani mengambil keputusan sulit, dan membangun konsensus nasional yang kuat.
Dari pemaparan diatas maka dapat disimpulkan bahwa Indonesia bisa menjadi negara besar, tapi juga bisa gagal total jika tidak hati-hati. Visi Indonesia Emas 2045 tidak akan tercapai hanya dengan retorika dan slogan. Kita harus berani melihat kenyataan, mengakui kelemahan, dan bergerak bersama memperbaiki arah.
Daripada terlena dengan mimpi emas, lebih baik kita cemas sejak dini agar kita tidak menyesal saat waktunya tiba.