Sartana, M.A. (Peneliti Psikologi Kebangdaan dan Dosen di Departemen Psikologi FK Universitas Andalas)
Opini, suaragerakan.com, Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, dalam beberapa waktu terakhir kita menyaksikan gejala merosotnya kepedulian masyarakat terhadap isu-isu nasional. Antusiasme masyarakat untuk membicarakan persoalan politik dan kebangsaan tampak melemah.
Fenomena ini terlihat dari sikap masyarakat yang cenderung biasa saja menghadapi berbagai peristiwa besar. Kasus korupsi di PT Timah yang merugikan negara sekitar Rp 300 triliun, masalah tata kelola di Pertamina senilai Rp 193 triliun, kasus PT Duta Palma Grup sekitar Rp 104 triliun, serta pengadaan laptop Chromebook di Kementerian Riset dan Teknologi hampir tidak menimbulkan kemarahan atau reaksi besar dari publik.
Padahal dulu, isu-isu seperti itu biasanya langsung memicu perdebatan sengit di media sosial dengan banyak tagar, komentar tajam, dan tuntutan dari masyarakat. Sekarang, semuanya seakan berlalu tanpa ada kegaduhan atau diskusi panas di dunia maya.
Gejala ini menunjukkan bahwa sebagian masyarakat tidak sekadar mengalami kelelahan politik, melainkan merasakan keterasingan dari sistem politik yang ada. Mereka sadar sebagai warga negara, tetapi merasa tidak memiliki pengaruh atau keterwakilan dalam sistem tersebut.
Kondisi ini dikenal sebagai alienasi politik, yakni keadaan psikologis dan sosial ketika warga merasa sistem politik tidak lagi relevan atau berpihak pada mereka (Olsen, 1969). Orang yang mengalami alienasi bukan karena ketidaktahuan, melainkan karena ketidakpuasaan dan rasa tidak diwakili. Ia juga dapat terjadi karena perasaan tidak berdaya. Orang merasa bahwa apa pun yang dilakukan tidak akan membawa perubahan.
Di tingkat yang lebih ringan, muncul apatisme politik, yaitu sikap pasif akibat kurang informasi, kejenuhan, atau ketidaktertarikan. Berbeda dengan apatisme, alienasi politik bersifat lebih aktif karena lahir dari kesadaran politik yang tinggi. Orang yang mengalami alienasi memahami kondisi yang terjadi namun merasa kecewa dan dikhianati oleh sistem yang dulu mereka percaya.
Fenomena alienasi politik ini tidak muncul tiba-tiba. Paling tidak, ada dua hal yang menciptakan perasaan keterasingan masyarakat tersebut. Pertama adalah kekecewaan masyarakat terhadap keterlibatan mereka pemilu tahun 2014 dan 2019, kemudian tahun 2024.
Dalam dua pemilu awal, tahun 2014 dan 2019, tersebut masyarakat sangat aktif. Mereka terlibat penuh, menyumbangkan energi, bahkan mempertaruhkan relasi pribadi demi mendukung calon yang mereka yakini akan membawa perubahan.
Namun harapan itu kemudian kandas. Titik awal alienasi politik muncul ketika Prabowo Subianto bergabung ke pemerintahan Joko Widodo pasca-pemilu 2019. Langkah tersebut mengecewakan pendukung kedua kubu yang sebelumnya melihat tokoh mereka sebagai wakil cita-cita Indonesia yang berbeda. Imaji politik yang dibangun pun runtuh. Kekecewaan semakin dalam ketika pada pemilu 2024 Prabowo mencalonkan diri sebagai presiden dengan dukungan Joko Widodo, sementara putranya maju sebagai calon wakil presiden. Konfigurasi ini mempertegas bagi banyak warga bahwa janji politik hanyalah strategi kekuasaan semata.
Di satu sisi, realitas politik demikian menjadi pembelajaran penting bagi masyarakat. Bahwa politik bekerja dengan logika yang berbeda dengan logika normatif. Ia tidak kaku dan lurus, melainkan fleksibel dan berkelok-kelok. Sehingga, ke depan, masyarakat akan memahami realitas politik menurut kerangka pandang demikian.Kedua, alienasi politik masyarakat terjadi karena selama satu dekade pemerintahan yang digadang akan membawa perubahan besar, ternyata masalah-masalah mendasar di Indonesia tetap tak terselesaikan. Meskipun pembangunan insfrastruktur berjalan massif, namun utang negara terus membengkak, birokrasi masih lamban dan rumit, sementara praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme justru makin meluas. Kondisi ini memperkuat rasa kecewa dan menjauhkan masyarakat dari kepercayaan terhadap sistem politik yang ada.
Melihat kondisi bangsa yang masih penuh masalah tersebut, masyarakat cenderung tidak puas sekaligus merasa tidak berdaya. Mereka merasa kecewa, tidak percaya, sekaligus pesimis terhadap masa depan Indonesia. Lebih dari itu, mereka juga kehilangan keyakinan bahwa sistem yang ada akan mampu membawa perubahan. Dalam jangka panjang, alienasi politik itu berpotensi melemahkan legitimasi demokrasi di Indonesia. Ketika warga merasa terasing dari proses politik, partisipasi mereka akan menurun, sehingga kontrol publik melemah, sehingga akuntabilitas pemerintah menjadi rapuh. Ruang publik tidak lagi menjadi arena diskursif yang terbuka dan kritis. Dalam kondisi demikian, wacana publik akan cenderung dimonopoli oleh suara elite, yang dibentuk melalui propaganda, yang hari ini cenderung diarahkan oleh algoritma. Alienasi politik dapat terkikis apabila pemerintah mampu menciptakan perubahan besar yang nyata, yang memungkinkan berbagai masalah nasional akut yang telah berlangsung selama beberapa dekade diselesaikan. Korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) dapat dihapuskan, sistem hukum dapat ditegakkan secara adil dan independen, birokrasi dapat dibenahi agar lebih efisien dan melayani, dan kondisi ekonomi pun dapat membaik secara merata.
Selain itu, alienasi politik juga dapat diatasi dengan mengembalikan demokrasi pada wataknya yang partisipatoris. Negara perlu menciptakan ruang-ruang yang memungkinkan warga merasa dihargai, didengar, dan memiliki pengaruh nyata dalam setiap proses politik.Meskipun harapan demikian sepertinya agak sulit terwujud hari ini. Paling tidak, ketika kita melihat apa yang terjadi dalam beberapa waktu terakhir, ketika muncul gejala di mana pemerintah cenderung kurang terbuka terhadap kritik. Kita berharap situasi demikian dapat berubah. Pemerintah dapat menciptakan suasana yang lebih nyaman bagi masyarakat yang bersikap kritisKritik seharusnya dipandang sebagai kekuatan konstruktif yang mendorong dialog dan pembangunan bangsa. Lebih dari itu, melalui kritik tersebut, masyarakat merasa lebih terlibat, sehingga kembali memiliki harapan terhadap Indonesia. Dari keterlibatan itu tumbuh rasa berdaya dan optimisme kolektif, yang membuat mereka tidak lagi terasing dari sistem politik, di tengah kondisi Indonesia masih jauh dari apa yang kita cita-citakan.