suaragerakan.com, Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi telah membawa perubahan signifikan dalam cara manusia menjalani kehidupan beragama. Media, khususnya media digital, menjadi ruang baru bagi praktik keagamaan, dakwah, dan pembentukan identitas religius. Artikel ini membahas hubungan antara media dan keberagamaan dalam konteks masyarakat digital, menyoroti peluang serta tantangan yang muncul. Dengan pendekatan deskriptif-kualitatif dan telaah literatur, artikel ini mengungkap bagaimana media berkontribusi terhadap transformasi pemahaman dan ekspresi keagamaan di masyarakat.
Di era digital, hubungan antara media dan agama menjadi semakin kompleks dan dinamis. Media tidak lagi sekadar sarana penyebaran informasi, tetapi juga membentuk cara masyarakat memahami, mengekspresikan, dan mempraktikkan agama. Fenomena ini terlihat dari menjamurnya ceramah daring, konten-konten dakwah di media sosial, hingga kehadiran tokoh agama yang memiliki basis massa digital yang luas.Tulisan ini bertujuan untuk menelaah interaksi antara media dan keberagamaan serta bagaimana media turut memengaruhi kehidupan religius masyarakat dalam konteks digital.
Media sebagai Sarana Dakwah dan Edukasi Keagamaan
Media digital memberikan peluang besar bagi penyebaran nilai-nilai keagamaan. Kiyai, Buya, Ustadz, Tuanku (sebutan ulama di daerah Sumatera Barat) dan pemuka agama kini memiliki kanal sendiri untuk menyampaikan ajaran mereka secara luas dan cepat. Platform seperti YouTube, Instagram, dan TikTok menjadi media populer dalam menyampaikan pesan-pesan spiritual, terutama bagi generasi muda.
Fenomena ini mendemokratisasi akses terhadap pengetahuan keagamaan. Tidak seperti era sebelumnya yang sangat bergantung pada institusi keagamaan formal, kini individu bisa belajar agama secara mandiri dari berbagai sumber digital.
Tantangan dan Problematika Media dalam Konteks Keberagamaan
Meski membawa manfaat, media digital juga memunculkan tantangan serius. Salah satunya adalah meningkatnya konten keagamaan yang tidak tervalidasi secara ilmiah, serta maraknya narasi intoleransi dan ekstremisme. Banyak tokoh agama instan yang lebih mengutamakan sensasi ketimbang substansi, menyesuaikan konten dengan algoritma platform demi popularitas.
Di sisi lain, terdapat fenomena komersialisasi agama, di mana dakwah dikemas layaknya hiburan demi mengejar rating dan keuntungan finansial. Hal ini berisiko mendangkalkan nilai-nilai spiritual dan mereduksi agama menjadi produk konsumsi.
Literasi Media dan Spiritualitas Kritis
Sebagai respons terhadap tantangan di atas, perlu dikuatkan literasi media keagamaan di kalangan masyarakat. Literasi ini mencakup kemampuan mengenali sumber informasi kredibel, memahami konteks produksi konten, dan menafsirkan pesan media secara kritis. Selain itu, masyarakat perlu mengembangkan spiritualitas kritis yang berpijak pada pemahaman mendalam terhadap ajaran agama, disertai dengan nilai toleransi, refleksi, dan etika digital dalam menyikapi perbedaan di ruang publik daring.
Saran Dari Penulis Bagi Masyarakat Dalam Bermedia
Untuk membatasi dampak negatif dari penggunaan media di tengah masyarakat, penulis menawarkan beberapa saran supaya tidak salah dalam memahami dan mengambil sebuah rujukan dalam media, yaitu;
- Upayakan melakukan verifikasi terhadap sumber informasi dalam media tersebut, seperti lembaga keagamaan yang resmi, tokoh yang berotoritasberotoritas atau instansi pendidikan lainnya yang diakui.
- Gunakan Media sebagai sarana edukasi seperti memperdalam keagamaan, bukan hanya sebagai hiburan atau kutipan instan.
- Hindari polarisasi dan debat provokatif dengan menyampaikan pesan damai dan toleran.
- Bangun etika digital dengan sopan, santun dan menghormati perbedaan pandangan.
- Refleksikan sebelum membagikan, tanyakan pada diri sendiri: Apakah konten ini bermanfaat? Apakah mengandung kebaikan? Apakah bisa menimbulkan salah paham atau konflik? Hati-hati dalam menekan tombol “share”.
- Batasi konsumsi konten instan dan jadilah produsen konten positif. Hal ini bisa dilakukan dengan membuat sebuah media yang menjadi perbandingan terhadap konten-konten dari media yang menimbulkan efek negatif.
Semoga enam poin diatas mampu memberikan sebuah pandangan bagi masyarakat untuk mampu menggunakan media yang baik dalam hal keagamaan dan mampu mencegah terjadinya perpecahan dan pertentangan di masyarakat mengenai isu yang tidak berdasar yang dikirimkan oleh media yang tidak tervalidasi.
Daftar Pustaka
Aufderheide, P. (1993). Media Literacy: A Report of the National Leadership Conference on Media Literacy. Aspen Institute.
Campbell, H. A. (2010). When Religion Meets New Media. Routledge.
Hoover, S. M. (2006). Religion in the Media Age. Routledge.
Husein, F. (2019). “Digitalisasi Dakwah: Transformasi Media dan Arah Baru Komunikasi Keagamaan di Era Digital.” Jurnal Komunikasi Islam, 9(2), 115-130.
Oleh: Syahrul Mubarak, S.Pd, M.Hum, Tuanku Bandaro Auliya