Opini | Suaragerakan – Saya kira kita sepakat bahwa masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang heterogen, bukan homogen. Akhir-akhir ini kita merasa seolah kita ini homogen, sehingga ketika ada perbedaan sedikit saja, kita langsung ribut, saling hujat dan marah-marah.
Padahal faktanya kita heterogen, kita punya ajaran kebangsaan yang bernama ‘Bhinneka Tunggal Ika’, dimana perbedaan itu adalah fitrah. Kekuatan kita sebagai anak bangsa bahwa kita ini adalah satu bangsa Indonesia, dan nilai luhur sekaligus kekuatan kita adalah penghargaan terhadap perbedaan itu.
Keyakinan atas keheterogenan itu, menjadikan perbedaan pandangan dan pilihan dalam pemilu dan pemilihan sebagai suatu kewajaran, sehingga konflik sebenarnya adalah hal yang wajar dalam pemilu dan pemilihan. Namanya juga rebutan kursi, bahkan musawarah mufakat saja bisa dibilang konflik, adu gagasan dan pemikiran itu adalah konflik untuk menuju mufakat.
Pemilu adalah konflik yang sah dan legal untuk memperebutkan dan/atau mempertahankan kekuasaan. Pemilu itu sendiri adalah konflik, dan perbedaan pilihan adalah sah.
Maka komitmen kita sebagai anak bangsa adalah menjaga agar konflik tersebut tidak melebar dalam bentuk kekerasan fisik dan verbal.
Yang harus jadi catatan adalah, karena kita heterogen, perbedaan itu adalah suatu yang sunnatullah dan pemilu pasti ada konfliknya, maka disana kanalisasinya harus ada dan berfungsi dengan baik. Disanalah peran Bawaslu, DKPP, Kepolisian, TNI, Kejaksaan dan MK.
Dalam penyelenggaraan pemilu dan pemilihan, perlu komitmen yang tinggi dari berbagai pihak untuk mematuhi aturan yang sudah dibuat oleh Pemerintah dan DPR terkait dengan pemilu.
Undang-undang Pemilu sudah mengatur semua, mempersiapkan lembaganya dengan detail sebagai instrumen kanalisasi terhadap konflik yang melampaui batas, yaitu terhadap pihak yang sudah menggunakan kekerasan baik fisik maupun verbal selama kampanye.
Seperti money politik, fitnah, hoak, ujaran kebencian, mempersoalkan lambang negara, politik identitas, politisasi agama yang berujung kepada hate speech dan bulliying dan sebagainya, itu semua adalah kekerasan verbal. Semuanya tidak akan terjadi jika seluruh pihak berkomitmen atas keheterogenan kita dan memahami substansi berpemilu-pilkada.
Semua pihak harus berkomitmen menjalankan norma hukum pemilu dengan baik. Hukum Pemilu kita sudah mengatur semua, dari aspek substantif dan struktural hukum misalnya, semua nilai luhur berdemokrasi sudah ditata dan semuanya sudah dilembagakan dan sudah ada yang menjalankan. Tinggal kita bersama membangun kultur hukum yang baik, budaya patuh terhadap hukum, taat hukum dan disiplin menjalankan hukum yang berlaku. Kultur hukum yang baik memerlukan komitmen bersama untuk membangunnya.
Dengan demikian, sistem pemilu yang sudah didesain dengan baik, dapat membangun kultur kehidupan berdemokrasi yang baik dan sebaliknya kultur yang sehat juga dapat membangun sistem pemilu yang baik pula ke depannya.
Titik poinnya adalah, Pemilu dan Pemilihan 2024 adalah ujian atas konsistensi dan komitmen kebangsaan kita. Tentu kita semua yang akan menentukan, pilihannya adalah, apakah kita akan memilih kultur demokrasi yang beradab dan berperadaban atau sebaliknya.
Kata kuncinya adalah, bahwa semua yang kita lakukan hanyalah ikhtiar, dan yang dituju dari ikhtiar itu adalah implementasi dari sila kelima Pancasila, yakni keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Suka atau tidak suka, electoral engginering (desain sistem pemilu) kita sebenarnya sudah mengatur pemilu dan pemilihan itu harus berjalan damai.
Pemilu dan pemilihan kita tidak didesain brutal dan terlalu bebas, sebaliknya didesain damai. Seperti kita ketahui pada Pemilu 2019, partai politik bertarung untuk memperebutan kursi legislatif, namun tidak bisa ‘cakar-cakaran hebat’ dengan partai politik lainnya, karena disaat bersamaan, mereka sedang berkoalisi dan berkepentingan untuk memenangkan Pemilihan Presiden dan Waki Presiden.
Pemilu dan Pemilihan 2024 lebih asyik lagi, karena di tahun yang sama dan bahkan sangat berdekatan, meski berbeda koalisi pada saat Pemilihan Presiden dan Waki Presiden dan tarung rebutan kursi legislatif, namun partai politik harus berangkulan lagi untuk kepentingan pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota.
Artinya tidak ada kawan dan lawan yang abadi dalam politik, dan yang abadi hanyalah kepentingan. Namun yang terpenting adalah, membangun kesadaran bersama dan mengedukasi masyarakat akan hal tersebut, sehingga polarisasi berkepanjangan pasca elektoral tidak terjadi.
Titik tekannya adalah, bahwa semuanya hanya masalah legitimasi kekuasaan, dan tujuannya adalah rakyat, tidak boleh tidak, dan partai politik adalah salah satu pilar terpenting dalam mewujudkan kultur demokrasi indonesia yang baik dan bermartabat.(*)
Artikel Opini ini ditulis oleh : Ory Sativa Syakban, Tuangku Sutan Imam Basa, Anggota KPU Kabupaten Padang Pariaman. Opini ini telah diterbitkan di Kolom Opini koran harian Haluan pada hari selasa tanggal 14 Juni 2022.