Opini, suaragerakan.com, Surau adalah sebutan untuk rumah ibadah umat islam yang bangunannya lebih kecil dari Masjid. Surau berasal dari bahasa Melayu dan memiliki fungsi sebagai tempat ibadah, belajar, dan pengajian.
Dalam perspektif tradisi surau sebuah sistem pendidikan dan pembinaan masyarakat Islam tradisional di Minangkabau, pilkada atau pemilihan kepala daerah dapat dilihat sebagai bagian dari upaya untuk mengamalkan prinsip musyawarah dan mufakat dalam memilih pemimpin. Meskipun tradisi surau pada dasarnya tidak mengenal konsep pemilihan umum secara langsung, ajaran yang berkembang di dalamnya menekankan pentingnya kepemimpinan yang berbasis pada nilai-nilai agama, moral, dan keadilan.
Sementara kaum Surau sendiri adalah sebutan untuk kelompok orang yang mengenyam pendidikan di surau (saat ini disebut pesantren). Mereka melatih diri dan menimba ilmu pengetahuan keagamaan mereka di Surau sehingga sebagai orang menyebut mereka dengan istilah kaum surau atau urang surau.
Sementara itu, mengingat semakin dekatnya penyelenggaraan pesta demokrasi di Indonesia untuk pemilihan kepala daerah secara serentak se-Indonesia, banyak kelompok-kelompok yang memberikan pandangannya terhadap penyelenggaraan pilkada serentak 2024 ini. Salah satunya ialah pandangan dari kaum surau
Berikut beberapa perspektif penting dari kaum surau terkait pemilihan pemimpin dalam konteks Pilkada:
Pertama, Pentingnya Memilih Pemimpin yang Berakhlak dan Amanah
Dalam ajaran surau, pemimpin ideal adalah seseorang yang berakhlak mulia, jujur, dan dapat dipercaya. Prinsip ini selaras dengan ajaran Islam secara umum, yang menekankan pentingnya amanah (kepercayaan) dan akhlak (moral) dalam kepemimpinan. Dalam konteks Pilkada, perspektif ini berarti bahwa masyarakat didorong untuk memilih calon pemimpin yang memiliki integritas dan komitmen terhadap nilai-nilai Islam.
Kedua, Musyawarah dan Keterwakilan Masyarakat
Tradisi surau sangat menjunjung tinggi musyawarah dalam pengambilan keputusan. Pada masa lalu, pemimpin adat atau ninik mamak dipilih melalui musyawarah yang melibatkan tokoh-tokoh masyarakat. Dalam Pilkada, meskipun prosesnya berbeda, prinsip musyawarah ini diadaptasi melalui keterlibatan suara masyarakat. Pilkada dianggap sebagai bentuk ijma’ (konsensus) modern, di mana masyarakat memiliki hak suara untuk memilih pemimpin yang mereka anggap layak.
Ketiga, Pemimpin Sebagai Pelayan Masyarakat
Dalam pandangan surau, seorang pemimpin tidak dilihat sebagai penguasa, melainkan pelayan masyarakat (pemimpin basamo). Ia bertugas untuk memenuhi kebutuhan rakyat dan menjaga kesejahteraan mereka. Oleh karena itu, pemimpin yang terpilih dalam Pilkada diharapkan mampu mengayomi, melayani, dan memperhatikan kepentingan masyarakat dengan adil, tanpa memperkaya diri sendiri.
Ke empat, Pentingnya Dukungan dari Tokoh Adat dan Agama
Tradisi surau di Minangkabau sangat erat kaitannya dengan dukungan tokoh-tokoh agama dan adat. Meskipun Pilkada merupakan sistem yang lebih modern, pemimpin yang mendapat dukungan moral dan etika dari tokoh adat atau ulama masih dipandang positif dalam masyarakat Minangkabau. Mereka dilihat sebagai orang-orang yang memiliki pengaruh dan kredibilitas, sehingga calon yang didukung oleh mereka dianggap lebih berintegritas.
Kelima, Hindari Konflik dan Pertikaian
Salah satu nilai inti dalam tradisi surau adalah pentingnya menjaga kerukunan dan menghindari pertikaian. Masyarakat diajarkan untuk tidak membesar-besarkan perbedaan atau kepentingan politik. Dalam Pilkada, diharapkan masyarakat tetap menjaga persatuan dan tidak terpecah belah hanya karena perbedaan pilihan, mengingat dampak Pilkada yang sering kali membawa ketegangan dalam masyarakat.
Pada intinya, dalam perspektif surau, Pilkada bisa dipandang sebagai sarana modern untuk mencapai tujuan kepemimpinan yang adil dan berakhlak mulia. Masyarakat didorong untuk memilih dengan bijak, berdasarkan akhlak, komitmen keagamaan, dan kemampuan calon pemimpin dalam menjalankan amanah serta merangkul seluruh lapisan masyarakat.