Refleksi 5 Tahun Wafatnya Syekh H. Ali Imran Hasan

Foto Nofri Andy. N, MA.Hum, Direktur LH Institute dan Dosen IAIN Bukittinggi, Penulis Artikel Opini dengan Judul "Refleksi 5 Tahun Wafatnya Syekh H. Ali Imran Hasan"

12 April 2017 merupakan hari yang bersejarah bagi keluarga besar Pondok Pesantren Nurul Yaqin Ringan-ringan, hari berduka tepatnya. Ulama kharismatik pendiri sekaligus pimpinan Pondok Pesantren itu, berpulang ke rahmatullah, Syekh H. Ali Imran Hasan menghadap ilahi rabbi.

Dalam rangka refleksi lima tahun wafatnya Syekh H. Ali Imran Hasan, penulis fokus kepada peninggalan beliau (warisan) yang berharga yaitu : keilmuan, santri dan jama’ah.

Baca Juga :

Dalam rihlah ilmiahnya, Syekh H. Ali Imran Hasan dikenal sebagai ulama yang suka mengembara, dalam rangka menambah ilmu dan silaturahim kepada guru-guru. Hal ini terlihat dari wirid ziarah yang beliau lakukan, meliputi kawasan darek (Tanah Datar, 50 Kota dan Agam) dan wilayah lauik (Padang Pariaman dan sekitarnya).

Pengalaman beliau dalam menimba ilmu inilah yang nantinya merubah cara belajar surau tradisional yang dulunya bersifat halaqah, menjadi sistem kelas dan bertingkat.

Beliau juga dianggap pembaharu pada masanya, karena setelah menamatkan kelas tujuh (tuangku), muridnya dianjurkan belajar lagi di kelas yang lebih tinggi, yaitu Bustanul Muhaqqiqin (pendidikan selama 4 tahun) dan Bustanul Mudaqqiqin (pendidikan selama 3 tahun).

Baca Juga :

Dalam proses belajar dan mengajar beliau tidak hanya terpaku pada metode ceramah dan diskusi. Banyak metode yang beliau kembangkan, sehingga santri beliau banyak mendapat wawasan dan ilmu pengetahuan, diantaranya metode tanya jawab.

Menurut beliau, seorang murid sebelum masuk kelas harus mempersiapkan diri dengan matang, dengan cara mengulang pelajaran (ulang kaji) dan menyiapkan pertanyaan yang berkualitas, sehingga muncul ‘perdebatan’ antara guru dan santri.

Oleh sebab itu sang guru tidak akan berani masuk tanpa persiapan yang matang karena khawatir tidak sanggup meladeni pertanyaan dari santri.

Baca Juga Kemendikbudristek Luncurkan 3000 Lebih Beasiswa

Karakter kritis ini telah dibentuk oleh Syekh H. Ali Imran Hasan dari awal santri masuk ke pesantren, sehingga yang akan terdengar di lingkungan Pesantren adalah dengungan suara santri yang mengulang kaji dan debat-debat kecil khas pesantren.

Syekh H. Ali Imran Hasan merupakan ulama yang concern dalam kaderisasi ulama. Hal ini terlihat pada upaya beliau dari awal berdirinya Pondok Pesantren Nurul Yaqin di tahun 1960.

hingga sekarang, Nurul Yaqin telah melahirkan ribuan tuangku dan yang telah menyebar ke penjuru nusantara dengan berbagai profesi, baik itu di bidang pemerintahan, politisi, pimpinan pesantren, bahkan banyak juga yang telah menjadi ulama dan memiliki ribuan santri.

Baca Juga : Siap-siap ! Kemenag Butuh 192.008 PPPK Formasi Guru

Beliau juga meruntuhkan teori, dalam mengaji perlu waktu yang lama dan memerlukan biaya yang besar, pada kenyataanya banyak didapati murid beliau melakukan akselerasi (naik dari kelas empat atau kelas lima ke kelas tujuh dengan melalui beberapa tahapan ujian).

Menurut beliau ulama muda nanti akan sanggup beradaptasi dengan masyarakat apabila dibekali dengan penguasaan ilmu yang komprehensif seperti penguasaan kitab kuning, amaliyah ahlu sunnah wal jamaah, serta pemahaman yang utuh tentang tarekat syatariyah.

Dalam tradisi keilmuan Syekh H. Ali Imran Hasan tidak pernah melarang muridnya untuk membaca buku-buku selain mata pelajaran yang diajarkan di pesantren, Ia tidak khawatir hal itu akan merubah pemahaman santrinya.

Baca Juga :

Bahkan beliau menganjurkan muridnya agar menguasai ilmu-ilmu yang lain, seperti penguasaan bahasa, ilmu hitung dan sebagainya. Aspek yang selalu ditekankan kepada muridnya dimanapun berada adalah, agar selalu pada posisi dua hal yaitu : belajar dan  mengajar.

Dua tugas santri itu berguna, agar pemahaman terhadap ilmu pengetahuan semakin kuat dan amal juga semakin mantap, dan ini merupakan cita-cita besar beliau dalam rangka mengembangkan Pondok Pesantren Nurul Yaqin hingga hari kiamat.

Namun semua itu tidak terlepas dari upaya beliau untuk selalu menghormati dan menyayangi santri-santrinya, apalagi guru-guru pondok pesantren yang akan menjadi penyambung lidah beliau kepada santri yang lain dan jamaah dimanapun berada. Lahuu Al-Fatihah. (IH)


Artikel Opini ini ditulis Oleh Nofri Andy.N, MA.Hum, Direktur LH Institute dan Dosen IAIN Bukittinggi.

----