Oponi, suaragerakan.com, Politik hendaknya menjadi salah satu instrumen untuk mencapai tatanan sosial yang lebih baik, dengan keadilan, kebebasan, dan kesejahteraan sebagai tujuan utamanya. Namun, realitas politik di banyak negara, termasuk Indonesia, kerap kali menyimpang dari idealisasi ini. Politik tidak lagi dipahami sebagai ruang untuk merumuskan dan menjalankan kebijakan yang membawa manfaat bagi masyarakat luas, melainkan menjadi arena perebutan kekuasaan yang didorong oleh ambisi personla dan elektoral. Di tengah situasi seperti ini, muncul fenomena yang dapat disebut sebagai “stunting moral”, di mana nilai-nilai moral yang seharusnya menjadi fondasi dalam setiap tindakan politik justru mengalami degradasi yang signifikan.
Stunting moral dalam politik mencerminkan kondisi di mana etika publik seperti kejujuran, integritas, keadilan, dan tanggung jawab tergerus, sehingga mempengaruhi perilaku politik aktor-aktor yang terlibat dalam proses tersebut. Kondisi ini dapat dianalogikan dengan fenomena stunting dalam dunia kesehatan, di mana kekurangan asupan gizi mengakibatkan keterhambatan dalam perkembangan fisik anak. Dalam konteks moralitas, stunting ini terjadi karena masyarakat baik politisi, penyelenggara pemilihan, maupun pemilih kehilangan akses terhadap nilai-nilai luhur yang hendaknya menjadi “gizi” bagi pembentukan karakter moral yang baik. Akibatnya, tercipta masyarakat yang cenderung permisif terhadap pelanggaran moral dalam politik, seperti korupsi, politik uang, penyebaran hoaks, dan eksploitasi identitas, yang semuanya menjadi ciri dari stunting moral ini.
Kondisi saat ini bukanlah sesuatu yang muncul tiba-tiba. Berbagai sektor dalam politik Indonesia, terutama dalam Pilkada, turut menjadi penyebab terjadinya stunting moral. Praktik politik transaksional, penggunaan uang sebagai alat untuk mempengaruhi konstituen politik, dan manipulasi/ framing media serta informasi, semakin merosot kondisi ini. Banyak politisi yang rela mengesampingkan valeu moral demi meraih kemenangan, dengan mengorbankan kepercayaan konstituen terhadap integritas politik itu sendiri. Situasi ini menimbulkan dampak negatif yang meluas, tidak hanya dalam hal kualitas pemimpin yang dihasilkan, tetapi juga dalam pembentukan kultur politik yang beradab dan demokratis.
Dari sudut pandang filosofis, stunting moral mengindikasikan adanya krisis eksistensial dalam cara kita memandang politik. Ketika politik tidak lagi diorientasikan untuk mencapai kebaikan bersama, tetapi lebih pada kepentingan personal atau elektoral tertentu, maka moralitas terpinggirkan. Aristoteles, dalam karya besarnya “Politika”, menekankan bahwa politik seharusnya bertujuan untuk mencapai “eudaimonia”, yaitu kebahagiaan atau kesejahteraan tertinggi bagi seluruh masyarakat. Politik yang kehilangan aspek moralitasnya, baik melalui korupsi, manipulasi, maupun pelanggaran etika lainnya, berarti telah melenceng jauh dari azas tersebut. Sebaliknya, politik menjadi sekadar alat untuk mencapai kekuasaan, tanpa memperdulikan dampak etis dari tindakan-tindakan tersebut.
Pemikiran Hannah Arendt tentang “banalitas kejahatan” juga memberikan pandangan yang mendalam tentang fenomena stunting moral ini. Arendt menggambarkan bagaimana kejahatan dalam konteks tertentu, tidak selalu dilakukan oleh orang yang secara sadar berniat jahat, melainkan terjadi karena adanya proses normalisasi atas perbuatan amoral dalam masyarakat. Dalam politik Pilkada, misalnya, praktik politik uang dan eksploitasi isu identitas seringkali tidak lagi dianggap sebagai kejahatan serius, tetapi sebagai bagian dari “strategi” yang umum dilakukan untuk memenangkan pertarungan politik. Fenomena ini memperlihatkan betapa dalamnya moralitas telah tersingkir dari arena politik, sehingga apa yang seharusnya menjadi pelanggaran besar justru diterima sebagai praktik yang wajar.
Namun, stunting moral ini bukan bentuk masalah yang berakar pada elite politik, melainkan juga mencerminkan kondisi masyarakat secara keseluruhan. Ketika masyarakat sebagai pemilih mulai permisif terhadap implementasi amoral dalam politik, seperti menerima uang untuk memilih, maka fenomena stunting moral ini menjadi masalah yang lebih sistemik. Demokrasi yang seharusnya menjadi sistem yang menjamin adanya partisipasi politik yang etis dan bertanggung jawab, justru ter-distorsi oleh kepentingan-kepentingan pragmatis yang mengorbankan nilai-nilai moral.
Ditulis oleh: Muhammad Iqbal Haryadi, S.H