Oleh: ABDURRAHMAN AHADY, S.Ag.
Tujuh puluh delapan tahun sudah Indonesia merdeka. Sejak proklamasi “dipekikkan” pada tahun ‘45, Indonesia telah berdiri sebagai negara yang diakui dunia. Tentunya, kemerdekan tersebut tidak dicapai oleh satu golongan saja. Indonesia sebagai negara multikultural yang memiliki beragam budaya, suku, dan agama telah bahu-membahu demi berkibarnya “sang dwi warna”.
Walaupun sudah merdeka, tapi kini Indonesia dilanda persoalan yang harus segera dicarikan solusinya. Keberagaman yang menjadi kekayaan bangsa acap kali dimanfaatkan untuk memecah belah persatuan, terutama dalam ranah keagamaan. Di Indonesia -negara yang dikenal sangat menjunjung tinggi nilai-nilai keagamaan- agama sering kali dijadikan “senjata” untuk kerusuhan. Akibatnya, bangsa Indonesia harus kembali berjuang untuk kemerdekaan beragama. Hal ini sebenarnya terkait dengan cara pandang, apabila cara pandang terhadap masalah keagamaan tidak disikapi dengan bijak maka agama dapat menjadi ajang adu domba di tengah pluralitas bangsa.
Sekelumit problematika di atas adalah kenyataan yang harus dihadapi bersama, meskipun negara telah menjamin hak-hak menganut kepercayaan dalam UUD RI tahun 1945, Pasal 28 E, ayat (1) dan (2), namun tetap saja, setiap kita harus turut mengambil sikap agar tidak terpecah belah. Oleh itu, sekiranya moderasi beragama harus hadir sebagai gagasan yang dapat meredam sentimen keagamaan agar Indonesia kembali kepada nilai luhur bangsa ; persatuan dan kesatuan.
A. Krisis Wawasan Multikultural
Adalah menarik jika ditelisik penyebab menguatnya sentimen keagamaan di Indonesia. Potret kelam wawasan multikultural dapat disaksikan dalam sejumlah konflik sosial-keagamaan. Kenyataan ini terpampang dalam berbagai berita. Betapa sering bermunculan kabar tentang penolakan rumah ibadah suatu agama. Walaupun ada alasan tersendiri dan banyak kemungkinan yang mendasari, tetap saja hal semacam ini dapat menggerus sikap toleransi jika tidak segera ditangani. Selain itu, pernah juga bermunculan berita tentang sebagian orang yang ingin mengganti ideologi pancasila dengan ideologi agama dan mendiskriminasi umat agama lain yang tidak sepaham dengan mereka.
Mengamati berbagai kasus intoleransi di atas, nampaknya konflik sosial antar umat beragama berakar pada menguatnya ekslusifitas. Sikap tertutup yang ditonjolkan oleh suatu kelompok akan menimbulkan stereotype kelompok lainnya. Kecurigaan tersebut memancing timbulnya kecenderungan untuk menempatkan kelompok lain sebagai the other secara frontal. Berbagai kasus intoleransi membuat kita merenung, mengapa kerukunan umat lintas agama di negeri ini begitu mudah diporak-porandakan. Sebagian masyarakat bak “jerami kering” yang terkena percikan api, begitu mudah tesulut emosi. Padahal negeri ini diperjuangkan oleh pendahulu dari perbedaan latar belakang yang melebur dan bersatu dalam bingkai kebhinekaan.
B. Moderasi Beragama : Wawasan Multikultural yang harus digaungkan
Moderasi beragama adalah “perwira” di tengah keberagaman. Sebagai budaya yang saling beriringan antara agama dan kearifan lokal, keduanya tidak saling mempertentangkan, namun mendamaikan. Moderasi harus direnungkan sebagai komitmen kebangsaan untuk mewujudkan keseimbangan yang paripurna di tengah-tengah kemajemukan.
Moderasi beragama dapat menjadi cara umat beragama untuk terus “menguatkan kemerdekaan” yang telah diwariskan. Pelaku moderasi beragama akan memegang teguh ajaran agama sebagai “tuntunan langit yang memakmurkan bumi”, mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan, dan anti kekerasan.
Begitu pentingnya moderasi beragama ini, kesemuanya dapat dicapai melalui penguatan wawasan multikultural kebangsaaan yang harus terus digaungkan. Dengan menyadari entitas bangsa dan negara yang dihuni oleh beragam kalangan dan lintas iman, maka bangsa yang besar ini dapat selektif dalam menerima berbagai isu keagamaan.
C. Implementasi Penguatan Wawasan Multikultural Melalui Perjumpaan Lintas Iman
Antropolog Parsudi Suparlan pernah menyatakan, tantangan multikulturalisme di Indonesia akan semakin kompleks. Hampir seluruh wilayah di Indonesia secara etnis yang heterogen sering kedatangan para migran dari berbagai latar belakang agama hidup berdampingan dengan warga lokal. Hal inilah yang kerap kali menimbulkan sentimen selama proses mengakomodasi perbedaan kultur. Pernyataan Parsudi itu menyiratkan pemahaman tentang keberagaman keagamaan bisa saja terus mengalami krisis, sebagai akibat tidak adanya pembauran dan interaksi yang memadai.
Agaknya, masyarakat harus terbiasa bila terjadinya perjumpaan lintas iman dengan umat beragama lainnya. Tanpa adanya pertemuan yang intens dengan berbagai kelompok agama yang berbeda, maka masyarakat akan lebih mudah terprovokasi dan tersulut “api emosi”. Karena itu, solusi yang ditawarkan di antaranya:
Pertama, menghidupkan kearifan lokal yang berpotensi adanya perjumpaan beragam kepercayaan. Budaya dan tradisi lokal sebetulnya mengandung dimensi horizontal yang sarat akan nilai-nilai sosial. Uniknya lagi, tadisi-tradisi tersebut tidak hanya berpengaruh pada satu komunitas agama, namun juga turut dirasakan oleh umat agama lainnya.
Kedua, menciptakan dialog di ruang publik sebagai perjumpaan lintas iman sekaligus pola komunikasi yang mempertemukan hati dan pikiran. Terkait hal ini, aplikasi dalam membangun hubungan dialogis antar umat beragama adalah dengan mencari titik temu : prinsip yang sama di tengah kelompok yang berbeda. Efeknya, kolaborasi akan menjadi lebih mudah jika tiap-tiap komunitas agama saling bersinergi menciptakan dialog di ruang publik.
Ketiga, memperbanyak konten media sosial untuk menyadarkan bahwa perbedaan adalah sebuah keniscayaan. Di era perkembangan media sosial yang terus mendunia, pertukaran informasi sangat mudah didapatkan. Maka, hal ini juga harus dimanfaatkan sebagai ajang untuk mengkampanyekan betapa pentingnya kebijaksanaan untuk menyikapi perbedaan dalam keberagaman, terutama dalam hal keagamaan. Melalui cara ini, masyarakat dapat perlahan-lahan distimulus melalui konten menarik dan sesuai dengan tren kekinian yang mudah dipahami.
D. Kesimpulan
Konflik horizontal antar agama yang disebabkan oleh krisis wawasan multikultural mesti segera diatasi. Indonesia sebagai negara multikutural dan multi-agama ditantang untuk mengelola keragaman dan permasalahan sosial-keagamaan. Apalagi pada zaman sekarang, seiring dengan bertambahnya usia kemerdekaan, berbagai kasus intoleransi terus mencuat ke permukaan. Cara pandang yang memposisikan umat lain sebagai the other secara berlebihan telah menyebabkan interaksi antar umat beragama rentan konflik.
Untuk itu, paradigma baru yang mesti dibangun adalah “kita” sama-sama makhluk tuhan. Bahkan, ajaran dalam setiap agama pun juga mengajarkan nilai-nilai kebaikan, walaupun tedapat sisi perbedaan yang tidak bisa dinafikan. Atas dasar itu, solusi jitu yang dapat dilaksanakan tidak hanya meningkatkan dan memperkokoh wawasan multikultural, namun juga dengan merubah cara pandang dari yang awalnya ekslusif menjadi inklusif. Pada akhirnya, sebagai bangsa yang besar kita sampai pada sebuah target berkelanjutan, yaitu menguatkan kemerdekaan demi terciptanya kedamaian sebagai wujud menjaga persatuan dan kesatuan dalam kemajemukan. _jody