Historisasi organisasi yang bernama Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) telah memberikan banyak sumbangsih dalam menata perubahan. Sejak didirikannya pada 17 April 1960, PMII menjadi salah satu organisasi yang memikat jiwa anak muda Nahdlatul Ulama (NU), terutama dari kalangan mahasiswa.
Berusia lebih dari setengah abad, konstribusi PMII tidak perlu diragukan lagi terhadap negara dan agama. Perisai biru-kuning tidak sekadar membela masyarakat tertindas, namun juga memproduksi gagasan dan menunjukkan geraknya sebagai wujud eksistensi organisasi tanpa batas.
Sebagai organisasi yang lahir dari rahim Nahdlatul Ulama (NU), tak bisa disangkal bahwa PMII telah menyajikan hidangan pengetahuan yang tidak berat ke kiri maupun ke kanan.
Baca Juga : Opini | Menimbang Kaum “Mancaliak Bulan” Sebagai Miniatur Moderasi Beragama di Sumatera Barat
Prinsip tawassuth (moderat) dalam ajaran ahlussunnah wal jamaah adalah identitas warga pergerakan yang wajib diamalkan dalam kehidupan berbangsa dan beragama.
Namun, nyatanya belum semua kader PMII mampu mewujudkan prinsip tersebut. Akibatnya, banyak di antara kader yang kehilangan arah dan kebingungan ketika bertemu dengan relitas yang sesungguhnya.
Walaupun dalam tubuh PMII tertiup ruh Nahdlatul Ulama sebagai organisasi yang dikenal sangat tawassuth, akan tetapi model pemikiran moderat seperti di atas sangat sulit ditemukan ketika ditilik ke dalam internal PMII itu sendiri.
Baca Juga : Opini | Kembalikan Surau Kami
Betapa banyak dijumpai pada kepengurusan PMII di berbagai daerah yang mengalami masalah, akibat pola pikir “ganyang kiri-ganyang kanan”.
Cara pandang politik praktis seperti ini telah mengakar dalam tubuh PMII, lebih mementingkan kepentingan jabatan dan kekuasaan daripada memperjuangkan subtansi pokok organisasi.
Selama enam puluh dua tahun PMII berjalan, sudah semestinya segala bentuk kekeroposan yang ada segera mendapatkan obatnya.
Baca Juga : Presiden Lantik Anggota KPU- Bawaslu RI
Memang, permasalahan-permasalahan yang hadir dalam sebuah organisasi adalah hal yang biasa, namun jika permasalahan-permasalahan yang menjalar terus dibiarkan, maka akan menjadi “jurang” runtuhnya organisasi yang besar ini.
PMII hanyalah sebuah objek dan ruang gerak, ia tak akan mungkin bisa bergerak tanpa adanya warga yang “seayun dan selangkah” untuk menggerakkan cita-cita yang tertuang dalam Nilai Dasar Pergerakan (NDP) PMII itu sendiri.
Problematika “Paceklik Logika”
Upaya pencerdasan yang telah disemai lebih dari setengah abad ini, seharusnya mampu menjadi kekuatan dalam membaca resiliensi PMII ke depan. Persilatan PMII sejak mula dilahirkan merupakan mental perlawanan yang semestinya dirawat dan dijaga dalam setiap kepala warganya.
Baca Juga : Opini | KENISCAYAAN RE-ALOKASI KURSI DPRD
Semua bentuk kontruksi gerakan yang tidak hanya sekadar wacana, sejatinya adalah sebuah entitas dalam paradigma “berganti baju”.
Naas, alih-alih kader PMII menelisik ulang untuk meneguhkan posisinya sebagai “perwira muda” intelektual Nahdlatul Ulama, atau memperkuat identitasnya sebagai sekumpulan manusia yang senantiasa bergerak membala bangsa dan agama, justru kenyataannya warga pergerakan mencoreng mukanya dengan menyelami kehidupan politik praktis.